Mengurai Benang Kusut Di Seputar Pendidikan

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Budyo Leksono
Saya Guru di SLTP di Banyuwangi
Tanggal: 13 Desember 2003
Judul Artikel: Mengurai Benang Kusut Di Seputar Pendidikan
Topik: Sistem Pendidikan Indonesia
Oleh : Budyo Leksono (Pemerhati Pendidikan)

Melalui fenomena maraknya KKN, angka pengangguran yang tinggi, transaksi jual beli gelar kesarjanaan dan mutu pendidikan yang rendah, penulis mencoba mengurai akar masalah munculnya fenomena-fenomena tersebut. Melalui pandangan "grambyangan" -pembaca boleh tidak setuju-, fenomena-fenomena tersebut muncul karena system nilai sosial masyarakat bangsa kita begitu tinggi menjunjung derajat seseorang melalui nilai angka yang kwantitatif, dan "gelar" atau serftifikasi yang lain, tanpa peduli bagaimana kuwalitas nyata yang dimiliki seseorang.

Jika kita mau mencermati, sistem ini sebenarnya sudah tertanam sejak anak kita memasuki bangku sekolah dasar. Sistem ini sudah begitu kuat tertanam dan mengakar dalam sistem nilai sosial kita, sehingga banyak diantara kita sendiri yang nota bene adalah pelaku-pelaku pendidikan di negeri ini tidak menyadari sedang memasuki sistem nilai yang keliru, bahkan memberikan penguatan melalui dorongan kepada anak-anak kita sendiri untuk meraih "prestasi" yang berupa ranking yang tertulis di buku raportnya. Dan terus berlanjut dengan "upaya-upaya" sampai bagaimana anak-anak kita memperoleh NEM yang setinggi-tingginya. Singkat kata, yang menjadi acuan keberhasilan pendidikan di negeri kita adalah angka-angka yang tertulis dalam berbagai laporan penilaian pendidikan, bukan pada kuwalitas yang ditunjukkan melalui perubahan sikap dan ketrampilan hidup serta perilaku sesorang.

Dengan berkembang dan berakarnya sistem nilai sosial masyarakat kita yang memandang keberhasilan pendidikan melalui data angka kuwantitatif baik dalam raport, ijazah ataupun Danem, jadilah nilai kwantitatif yang berupa angka-angka mati yang tidak menginformasikan keseluruhan kuwalitas seseorang menjadi orientasi utama dalam proses pendidikan di negeri kita. Sebagai akibatnya adalah fenomena yang kita lihat di sekitar kita sehari-hari.

Disekolah, anak yang seharusnya menjadi subyek pendidikan, diputarbalikkan menjadi anak sebagai "alat" yang menentukan keberhasilan lembaga pendidikan (sekolah). Di sinilah anak "dipacu" untuk menyerap pengetahuan dari guru sebanyak-banyaknya. Guru tidak lagi perlu berorientasi apakah siswanya memahami dengan apa yang mereka ketahui. Orientasi pembelajaran yang dilakukan guru berubah menjadi bagaimana supaya kurikulum yang ditargetkan dapat terpenuhi, sekaligus bagaimana agar pada saatnya nanti, para siswanya dapat menjawab soal-soal kognitif dalam ebtanas. Bagi pihak sekolah keberhasilan siswanya menjawab dengan benar soal-soal ebtanas menjadi taruhan kredibilitas lembaga. Sekolah, bahkan pemerintah sendiri menilai mutu suatu lembaga sekolah melalui NEM yang didapat siswanya pada saat ebtanas.

Saking kuatnya pandangan ini, sampai-sampai hampir semua sekolah menganggap alokasi waktu/jam efektif sekolah yang sudah ditetapkan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan, kur ang. Sehingga sekolah membuat program jam tambahan dengan nama Bimbingan Belajar, Pendalam Materi atau nama yang lain, yang orientasinya hanya satu. NEM yang tinggi. Di masyarakat, anak yang seharusnya dapat menikmati dunianya, terpaksa merelakan dunianya dengan disibukkan mengikuti les-les mata pelajaran. Dan jika pembaca ingin membuktikan, dapat dengan mudah dilakukan. Dari sekian juta anak di Indonesia yang mengikuti les mata pelajaran, berapa gelintir anak yang bertujuan supaya mempunyai ketrampilan hidup sesuai dengan mata pelajaran les yang diikutinya, dan berapa juta anak yang bertujuan supaya nilai (angkanya) menjadi baik, tanpa disertai ketrampilan hidup yang berkaitan dengan mata pelajaran tersebut.

Akibat dari orientasi yang menurut penulis keliru ini, pengembangan kepribadian yang dialami anak selama mengikuti proses pendidikan di sekolah hanya sebatas intelektual pada domain kognitif, dan belum mencakup perkembangan kerpibadiannya secara utuh. Karena perkembangan kerpibadian anak bangsa kita yang umumnya tidak utuh inilah muncul sikap mental yang tidak siap menghadapi persaingan dan tantangan dalam kehidupan tahap selanjutnya. Sikap mental ingin diperhatikan dan manja ini akhirnya membuat bangsa kita sebagai bangsa yang alergi dengan urusan birokrasi, bangsa yang trampil dan bangga dalam Membeli, bukan Menjual. Menggunakan, bukan Menciptakan. Menerima, bukan Memberi. Melihat, bukan Melakukan. Dan akhirnya jalan pintas adalah pilihan utama dalam berbagai hal. Dengan demikian kita harus mengakui, jika negara kita mendapat predikat negara ter-korup.

Keprihatinan penulis sedikit terhibur ketika penulis mendengar akan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang menurut penulis lebih memandang peserta didik sebagai manusia secara utuh, bukan lagi sebagai mesin memori yang mampu menampung ingatan pengetahuan dalam jumlah yang besar. Serta munculnya berita tentang dihapusnya EBTANAS. Tetapi nampaknya keprihatinan kita semua tentang mutu pendidikan di negeri kita ini masih harus berlanjut dan bersambung bak sinetron di TV. Betapa tidak, dengan dikeluarkannya Kepmendikbud No 118 /U/2002, yang dalam pasal 3 ayat 1 sub e menyebutkan : Penilaian pada akhir pendidikan pada .. dilaksanakan dengan Ujian Akhir Nasional. Penulis sadar, penilaian melalui Ujian Akhir Nasional ini bertujuan untuk menstandarisasi lulusan satuan pendidikan.

Tetapi kemudian apa bedanya dengan EBTANAS. Kalaupun toh hasil UAN nanti untuk memberikan penilaian kinerja/mutu sekolah dan tidak memakainya sebagai tolak ukur penerimaan murid di jenjang sekolah yang lebih tinggi, penulis tetap berpandangan pesimis untuk dapat berjalan sesuai tujuan murninya. Dengan alasan, sekolah mana yang mau dengan lapang dada menerima penilaian negatif karena NUN yang didapat lulusannya rendah. Kepala Sekolah mana yang tidak menginginkan nama baik melalui perolehan hasil UAN para muridnya. Pada akhirnya, semua lembaga sekolah akan berlomba bagaimana hasil UAN muridnya dapat maksimal. Sama persis ketika sekolah berorientasi pada bagaimana agar NEM muridnya setinggi-tingginya.

Jika hal tersebut benar-benar terjadi, nasib KBK sudah dapat dipastikan, sama dengan Pendekatan Ketrampilan Proses dalam kurikulum 1975, yang diaplikasikan untuk memproses siswa agar menjadi mesin perekam pengetahuan. Sama dengan Pendekatan CBSA dalam Kurikulum 1984, yang mengoptimalkan aktivitas siswa untuk menghafal pengetahuan. Dan KBK sendiri akan menjadikan siswa sebagai basis yang kompeten untuk menghasilkan NUN yang tinggi. Sebagai solusi agar KBK berjalan sesuai degan jiwanya, penulis berpandangan bahwa penilaian apapun terhadap peserta didik, kita serahkan sepenuhnya pada lembaga penyelenggara pendidikan, bersama dengan masyarakat, dunia usaha/industri dan instansi pemerintah, sesuai dengan wilayah kewenagan masing-masing. Maksudnya, kuwalitas pendidikan yang dihasilkan suatu lembaga pendidikan akan terseleksi secara alami berdasarkan kompetensi yang dimiliki para lulusannya. Semakin banyak lulusannya yang terjaring seleksi di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berarti semakin berkuawlitas lembaga pedidikan tersebut. Semakin banyak lulusannya yang terjaring dalam seleksi rekrutmen tenaga kerja di dunia usaha dan industri, berarti semakin berkuwalitas lembaga pendidikan tersebut.

Seleksi alami ini akan terdukung jika sekolah lanjutan dalam menerima siswa barunya tidak lagi menggunakan angka nilai kuwantitatif sebagai acuan, tetapi diharapkan dapat menggunakan alat ukur yagn dapat mengunggkap komptensi selengkap mungkin dari kepribadian calon siswanya, dan sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk menjaga obyektifitas seleksinya. Bagi dunia usaha dan industri juga instansi pemerintah, dalam seleksi rekrutmen karyawan baru juga tidak lagi menggunakan nilai angka kuwantitatif sebagai acuan, tetapi diharapkan dapat menggunakan alat ukur yang dapat mengungkapkan ketrampilan hidup yang dikuasai calon karyawannya, sesuai dengan bidang kerja yang akan didudukinya.

Penulis sadar-sesadarnya bahwa solusi ini tidak serta merta berhasil. Hal ini mengingat bahwa sistem pendidikan yang berlaku selama ini sudah tertanam dan mengakar dalam sistem nilai masyarakat kita. Sehingga membutuhkan waktu dan komitmen yang tinggi dari semua pihak.

Saya Budyo Leksono setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Penerimaan Siswa Baru Arena Mengadu Nasib dan Sarat Resiko KKN

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Deny Suwarja
Saya Guru di SLTPN 1 CIBATU GARUT
Tanggal: 4 JULI 2003
Judul Artikel: Penerimaan Siswa Baru Arena Mengadu Nasib dan Sarat Resiko KKN
Topik: Penerimaan Siswa Baru

Pak Budi adalah seorang guru Biologi di sebuah SLTP Negeri Favorit di Kecamatan C, Kabupaten Garut. Guru tersebut adalah guru yang masih mempunyai idealisme yang tinggi baik dalam bekerja atau menjalankan kehidupannya sehari-hari. Ia ingin segala sesuatunya sesuai dengan koridor dan peraturan serta tidak menentang sariat agama. Istiqomah, konsisten dan lurus dalam bertindak. Namun selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 ia harus dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Bertentangan dengan hati nuraninya.

Pak Budi terpaksa harus menelan pahit idealisme yang dipegangnya dengan kukuh tanpa bisa mencegah terjadinya penyelewengan pada waktu ia menjadi panitia Penerimaan Siswa Baru (PSB). Pada tahun 2000, ketika sistem penerimaan siswa baru masih menggunakan NEM, ia melihat kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh para guru SD yang mendaftarkan para lulusannya ke SLTP. Pak Budi melihat dan harus menelan ludah kekecewaan, ketika ia melihat daftar NEM, banyak sekali jumlah daftar NEM yang di luar akal sehat. Bayangkan dari sebuah SD yang sebelumnya siswa lulusannya yang diterima di SLTP Negeri itu paling banter 2 orang dari 42 orang yang mendaftar. Namun pada tahun tersebut bisa meloloskan sampai satu kelas (44 orang). Fantastis! Namun Pak Budi tidak bisa berbuat banyak, karena ia tidak bisa membuktikan apa pun apakah daftar NEM dari SD tersebut di mark-up, seperti pembelian pesawat SHUKOI yang ramai diperbincangkan saat ini atau tidak.

Untuk mengobati kekecewaan dan rasa penasarannya, Pak Budi mencoba memonitor ke 44 anak tersebut. Selama satu tahun, ia merekam kemajuan dari siswa-siswa tersebut dan membandingkannya dengan siswa dari SD lain yang mempunyai nilai NEM yang rendah tetapi dikenal bersih dari mark-up nilai. Hasilnya sungguh tidak jauh dari hipotesisnya. Hanya 6 orang saja yang benar-benar mampu mengikuti pelajaran dengan baik dan mencapai nilai yang diharapkan. Ketiga puluh enam sisanya, pada waktu mengikuti pembelajaran hanya bengong, bahkan untuk membaca saja masih dieja!

Pada tahun 2001 kembali Pak Budi menjadi panitia PSB. Seperti biasanya ia bekerja dengan lugu dan berusaha untuk menjalankan pekerjaannya selurus mungkin. Ia tidak ingin adanya KKN. Namun lagi-lagi ia harus menelan pil pahit, kembali kebohongan dan penghianatan yang dilakukan oleh rekan-rekannya bahkan oleh Kepala Sekolahnya. Dari 767 lulusan SD yang mendaftar ke SLTP Negeri itu, diterima 391. Padahal SLTP itu mampu untuk menampung 44 siswa/kelas, jadi seharusnya bisa menerima 396 siswa. Tapi kenyataanya, diterima hanya 391, dengan alasan untuk cadangan siswa yang tidak naik kelas. Padahal setahunya, yang tidak naik kelas pada tahun tersebut hanya 2 orang. Ia baru mengerti, ketika secara tidak sengaja ia melakukan pemanggilan kehadiran pada waktu akan melakukan proses belajar mengajar. Masya Allah, ia terkejut dan mengurut dada ketika dia melihat ternyata dari daftar absen tersebut ia mengenal beberapa anak yang sebenarnya dinyatakan tidak diterima karena jumlah NEM- nya kurang dari batas minimal.

Karena penasaran ia mencobat mencari tahu kepada Kepala Sekolah siapa-siapakah ketiga anak tersebut sehingga dengan ajaib bisa berada di dalam kelas padahal mereka tidak lulus. Kepala Sekolahnya menjelaskan bahwa ketiga anak tersebut adalah titipan dari Dinas Kabupaten, yantg satu keluarganya sedangkan yang satunya lagi adalah anak seorang wartawan CNN (Can Nulis Nulis) yang biasa nongkrong di SLTPN itu untuk meminta sedekah. Pak Budi tidak meminta keterangan lebih banyak, karena ia tahu hasilnya adalah satu kesia-siaan.

Lagi-lagi karena penasaran dan ingin membuktikan praduganya, ia memonitor ketiga anak yang seharusnya tidak diterima itu. Selama satu tahun ia memberikan perhatian khusus kepada ketiga anak itu. Hasilnya kembali ia harus tersenyum kecut. Dalam mengikuti pelajaran, ketiganya tergusur oleh teman-temannya. Mereka tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik, bengong, melongo dan nol besar. Pada waktu kenaikan kelas jumlah nilai yang mereka dapat hanya 69-71, dengan kata lain mereka tidak naik kelas. Ketiga anak tersebut, pada tahun berikutnya orang tuanya yang katanya berpengaruh, akhirnya dicabut dari SLTPN itu dan dipindahkan ke SLTPN lain. Namun anehnya, dengan ajaib pula, dalam raport mereka tercantum jumlah nilai menjadi 72 dan mereka naik kelas.

Sim salabim, sulap selip susulapan! Aha, ternyata mereka akhirnya dipindahkan oleh orang tuanya ke tempat asal mereka yaitu di kota Kabupaten dan Kota Bandung. Dengan kata lain, ternyata mereka bersekolah di SLTPN di kota kecamatan C hanya untuk batu loncatan. Karena passing grade di kota Kabupaten dan Kota Bandung sangat tinggi, mereka dimasukkan (dengan paksa dan lewat pintu belakang) masuk ke SLTP Negeri di kecamatan/daerah. Setelah satu tahun, mereka bisa pindah ke SLTP Negeri yang diinginkan walaupun dengan nila yang pas-pasan (dapat nyulap lagi!).

Karena Pak Budi mampu menggunakan komputer dan mengetik sepuluh jari, akhirnya pada tahun 2003 ia terpilih kembali menjadi sekretaris panitia PSB untuk ketiga kalinya. Kini ia mulai mempunyai jabatan, padahal sebelumnya hanya anggota. Pada tahun 2002 kebetulan sistem yang dipakai untuk penyaringan masuk ke SLTP Negeri melalui tes tertulis. Dengan semangat yang menggebu dan penuh optimistis Pak Budi bekerja merancang, menyusun dan melakukan pendaftaran serta penyeleksian. Saking inginnya ia mendapatkan calon siswa yang benar-benar murni. Ia bahkan tidak mengetahui nomor tes anak kandungnya, yang kebetulan ikut tes tahun itu. Ia dengan keras bekerja di sekolah dan di rumah. Di sekolah ia harus berjuang keras memasukan data demi data siswa pendaftar. Di rumah ia harus lagi bekerja ekstra, melatih dan membimbing anaknya yang akan mengikuti tes. Bahkan kerap kali, anaknya harus menerima jitakan serta cubitan darinya bila ketahuan mengantuk. Si anak baru diperbolehkan tidur bila sudah selesai belajar jam 21.30 malam. Ia tidak ingin anaknya mengandalkan dan tergantung pada orang tuanya.

Hal yang paling membuat Pak Budi geli sekaligus tersinggung, bukan satu kali dia menerima telefon dari orang tua yang anaknya mengikuti tes menawarkan sejumlah uang. Uang tersebut akan diberikan bila anak dari orang tersebut lulus dan diterima di SLTP Negeri itu. Namun Pak Budi bukan tipe orang kebanyakan, dengan halus dan sopan ia menolak. Dikatakannya bahwa jangankan dititipi anaknya pun harus menerima jitakan dan cubitan sampai menangis karena harus belajar keras agar dapat diterima di SLTP Negeri. Pak Budi bahkan dijauhi oleh teman-teman seprofesinya, karena dia menolak titipan mereka.

Tibalah pada hari H, tes tertulis tersebut dilakukan. Lokasi yang dijadikan tempat tes terpisah di dua tempat yaitu di SLTP Negeri dan SMU Negeri. Hal itu dilakukan karena jumlah ruangan SLTP Negeri tidak mencukupi karena sedang mengalami perbaikan. Resikonya berarti SLTP Negeri juga harus meminjam guru-guru SMU Negeri itu. Pak Budi menyadari terpisahnya lokasi akan sarat dengan kecurangan, hal ini ditenggarai karena ada beberapa orang guru SD pada waktu pendaftaran memintanya agar siswanya pada waktu test bisa di SMU Negeri. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Pak Budi membuat jadwal pengawas ruangan disilang. Satu guru SMU Negeri dalam satu ruangan ditemani oleh satu guru SLTP Negeri. Namun rencana itu ditolak mentah-mentah oleh salah seorang oknum guru. Ia beralasan hal itu tidak perlu. Pak Budi sudah maklum dengan oknum guru (panitia) yang satu ini, karena ia sudah dikenali orang sebagai guru yang "tidak bersih". Kerap menyikut dan menggunting dalam lipatan menusuk teman sendiri. Tukang makan tulang kawan! Daripada berdebat, akhirnya Pak Budi dengan terpaksa membiarkan pengawasan dalam satu ruangan dilakukan oleh dua orang guru SMU Negeri.

Namun apa yang terjadi? Sehari setelah tes dilakukan, banyak orang tua dan guru SD yang pada waktu test membimbing para siswanya protes. Hal itu dipicu oleh adanya kecurangan oleh beberapa oknum guru SMU Negeri yang memberikan jawaban kepada sejumlah anak di dalam ruangan. Bahkan ada yang melaporkan bahwa ada satu orang peserta tes, disuruh mengambil teh di kantor dan guru yang menyuruhnya mengerjakan soal si anak itu.

Hasil tes diumumkan pada pertengahan Juli 2002, dari 761 peserta tes yang diterima hanya 396. Kepala Sekolah memanggil semua panitia ke ruangannya. Pak Budi deg-degan, sport jantung! Ia sudah berencana bila anaknya tidak lulus akan disekolahkan di SLTP swasta. Pak Budi meminta ijin kepada atasannya untuk meminjam telefon untuk menanyakan nomor tes anaknya, karena sama sekali ia tidak tahu. Kepala Sekolah menyerahkan daftar hasil tes kepada Pak Budi. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup keras, adrenalin terpompa dengan derasnya ke jantungnya. Baris demi baris, tangan Pak Budi mencari nama dan nomor tes anaknya. Baris kesatu tidak ada, kedua tidak ada, ketiga, ..keduapuluh sembilan tidak ada. Dan "plong"! Hati Pak Budi lega, ia berteriak dan dengan gemetar mengucap Alhamdulillah! Anaknya masuk dan diterima dan berada pada urutan ketiga puluh. Ia terus mengucap syukur, namun ia tidak ingin memberi tahukan anaknya dahulu. Biarkan anaknya merasakan seperti yang ia rasakan. Ia ingin anaknya tegang dan sport jantung pada waktu menerima hasil tes dari guru SD keesokan harinya. Bahkan isterinya pun tidak ia beri tahu, sampai jam satu malam isterinya mendesak. Tapi ia tak bergemin, kita lihat saja besok, jawabnya pendek.

Dari 401 peserta tes yang diterima di SLPTN itu, terdapat 5 orang yang bernilai kembar siam, sama. Tadinya diambil kebijaksanaan bahwa yang akan dipilih adalah peserta yang mempunyai nilai PPKN tertinggi, bila masih sama nilai Agama tertinggi dan seterusnya. Namun ada pendapat bahwa hal itu akan memancing protes dan kecurigaan dari pihak orang tua peserta tes. Akhirnya diputuskan bahwa peserta yang seharusnya 396 orang yang diterima adalah 391 orang. Sedangkan untuk 5 kursi dibiarkan kosong. Pak Budi, ringan melenggang karena berpikir telah berusaha semaksimal mungkin untuk objektif dan mencegah kecurangan. Kalaupun kecurangan masih terjadi, itu bukan kesalahannya dan di luar kekuasaannya?

Memasuki minggu pertama proses belajar mengajar tahun ajaran baru 2002/2003 berlangsung, Pak Budi mulai mendapat berita tidak enak. Bahwa ada peserta yang seharusnya tidak lulus tes, lagi-lagi ada di kelas! Astagfirullah, siapa pelakunya yang telah menghianati 671 orang peserta tes? Karena ingin menemukan kebenaran yang sesungguhnya, ia memanggil siswa yang memang tidak lulus tes tersebut. Ia sadar anak itu tidak bersalah, yang bersalah adalah orang tua dan oknum guru yang memaksa memasukannya. Dan terbongkarlah skandal itu! Ternyata siswa yang masuk melalui jalan belakang tidak satu orang, ada empat orang lain yang masuk dengan jalur ghoib.

Lagi-lagi Pak Budi menghadap Kepala Sekolah, tapi sebelum dia menghadap atasannya tersebut ia dicegat oleh Wakilnya. Dijelaskan bahwa kelima orang tersebut adalah "titipan". Ya, mereka adalah titipan dari yang mulya oknum anggota DPRD partai P, oknum Diknas Kabupaten, oknum wartawan, oknum guru dan satu lagi Wakil Kepala Sekolah itu tidak mau menyebutkan dengan alasan lupa. Pak Budi, mengelus dada dalam pikirannya terbayang 395 orang peserta tes yang hanya orang kebanyakan. Anak rakyat biasa yang orang tuanya tidak mempunyai jabatan, padahal mungkin saja mereka lebih pantas masuk di SLTPN itu daripada mereka yang putera beliau-beliau. Kasihan mungkin mereka harus masuk ke sekolah swasta yang biayanya jelas lebih mahal bahkan mungkin ada diantara mereka yang tidak mampu untuk masuk ke swasta akhirnya tidak melanjutkan. Pak Budi termenung dengan tatapan kosong..

Tiga tahun, ya, tiga tahun! berturut-turut kecurangan demi kecurangan selalu terjadi pada waktu Penerimaan Siswa Baru (PSB) selalu terjadi. Bukan sistem yang harus dirubah, tapi moral dan hati nurani pelaku pendidikan atau orang per orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam proses penerimaan itu. Sebagus apa pun sistem penerimaan siswa baru yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan bisa berjalan dengan baik dan sempurna, bila tanpa dibarengi kebersihan hati dan moral tinggi.

Semestinya para pelaku kecurangan itu menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan akan terekam oleh anaknya. Dengan demikian telah membuat satu calon, orang yang akan berbuat curang di masa yang akan datang. Kesalahan dari satu orang akan mempunyai efek domino kepada sistem yang berlaku. Makin lama, akan makin bobrok dan akhirnya sistem itu hancur seperti yang dialami negeri ini. Terjerumusnya negeri ini ke dalam krisis multidimensional seperti sekarang, bukan mustahil dimulai dari sistem penerimaan murid dan sistem pendidikan yang penuh dengan kecurangan. Sehingga dari sistem yang tidak bermutu dihasilkan para pemimpin yang kita rasakah sekarang.

Faktor utama untuk mendukung untuk terlaksananya penerimaan siswa baru yang bersih adalah dengan kejernihan hati, kebersihan kalbu dan cahaya nurani yang tersimpan di dalam dada kita. Seringkali kita dalam melakukan hidup dan kehidupan tidak bersandari pada bisikan hati nurani. Bahkan sebaliknya cahaya illahi, tersebut kita tutupi dengan kepentingan sesaat dari otak kita yang lebih mementingkan duniawi. Padahal kita tahu, bahwa bila kita mampu untuk berbuat dan menjalankan hidup dan kehidupan dengan menggunakan hati nurani kita akan selamat di dunia dan akhirat. Kita seringkali menutup mata dan membohongi diri sendiri dengan kebenaran yang dibisikkan oleh hati nurani kita. Kita menyadari bahwa hati nurani itu tidak pernah dusta, karena bisikan hati nurani adalah bisikan kebenaran dari Sang Maha Pencipta.

Saya Deny Suwarja setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Mempertegas Otonomi Pendidikan; Menuju Masyarakat Edukatif

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Khoirul Umam & Neng Luthfi
Saya Mahasiswa di UIN Jakarta & STAI Darul Qalam
Tanggal: 30 Juni 2003
Judul Artikel: Mempertegas Otonomi Pendidikan; Menuju Masyarakat Edukatif
Topik: otonomi pendidikan

Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah pusat kini pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, keadilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.''

Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkemabang (Suyanto; 2001).

Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah dalam pendangan Syaukani memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh Nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat kabupaten atau pun kotamadya dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Di tingkat propinsi dan kabupaten akan diadakan lembaga nonstructural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya (Kompas; 1999).

Di samping itu, dalam era otonomi sekarang ini peran masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan, kini sydah saatnya dikikis habis dan diberikan kepercayaan dalam mengatur untuk bisa berperan dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan. Tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau dana penambah bagi sekolah yang terlembagakan dalam BP3. Dengan kata lain ketidakseimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 (yang terdiri dari masyarakat yang merupakan kumpulan para wali/ orang tua siswa (peserta didik) dalam manejemen sekolah harus ditiadakan. Karena hal itu telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat-dalam hal ini para orang tua/ wali peserta didik-menjadi lembaga yang tidak ada fungsinya (disfunction). Maka ketika otonomisasi digalakkan adalah sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau hanya sebagai pendengar saja (only learner). Melainkan harys benar-benar di libatkan secara langsung.

Begitu pula sebaliknya. Pihak sekolah dan BP3 yang biasanya sudah terlebih dahulu merencanakan dan menganggarkan SPP (misalnya) untuk siswa tidak melibatkan para orang tua/ wali siswa. Orang tua/ wali siswa (peserta didik) hanya dijadikan pihak kedua (the second man) dalam masalah tersebut. Yang pada gilirannya musyawarah tersebut hanya menjadi ''guyonan belaka'' atau sekedar formalisme.

Nah, di era otonomi ini hal itu sudah saatnya dirubah dan dibuang jauh-jauh dari paradigma berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakkat yang selama ini termarjinalkan dalam lubang berpikir ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat yang dinamis dan progresif. Dan dapat bersama-sama membangun pendidikan yang maju dan qualified dalam percaturan internasional. Sehingga nantinya dapat terwujud masyarakat edukatif, pembelajar-bahasa Andreas Hafera-dan demokratis yang dapat turut serta menciptakan ''Masyarakat Madani'' sebagaimana yang kerap muncul dalam wacana kekinian dalam upaya membangun bangsa.

Bila yang terjadi demikian, maka masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada gilirannya akan respek terhadap kemajuan dan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan sendiri. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tiada tara sebagai makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu sendiri (baik orang tua/ wali siswa/ peserta didik, peserta didik sendiri, sekolah dan juga pemerintah) dapat berjalan sinergis, beriringan dan selaras.

Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak begitu mudah untuk dilakukan. Karena berbagai elemen dan perangkat untuk menunjang itu semua haruslah dapat dengan tegas bahwa semua itu diimplementasikan hanya untuk mempertegas bahwa otonomisasi pendidikan sudah benar-benar dijalankan tanpa tedeng aling-aling. Dan berbagai upaya ke arah itu pun sudah sedang dan mesti digalakkan. Agar dapat mencapai hasil yang maksimal dan dapat memenuhi target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam dan untuk mempertegas otonomisasi pendidikan itu semua tidak hanya membutuhkan perangkat bantuan yang berupa materil. Melainkan, dukungan moril dan kotribusi pemikiran dan ide-ide segar sangat dibutuhkan.

Tetapi, itu semua tidak hanya cukup diberikan oleh segelintir masyarakat saja. Justru, dukungan seluruh komponen masyarakat kita pun juga amat menentukan proses keberlangsungan itu semua. Maka tidak heran bila Suyanto menyatakan Otonomi Pendidkan harus perlu mendapat dukungan DPRD. Karena, DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut.

Hal itu selaras dan menemukan relevansinya sebagaimana pasal 14 UU. No. 22/ 1999; di setiap daerah otonomi memiliki sistem pemerintahan yang terdiri dari DPRD sebagai badan legislatif daerah, Pemerintah daerah (Pemda) sebagai badan eksekutif daerah. Kemudian, insititusi itu harus bekerja sama secara seimbang agar daerah otonom dapat berfungsi secara efektif dan demokratik bagi semua warga masyarakat.

Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigma dan visi pendidikan di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, badan legistlatif daerah ini harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Dan memiliki kesetaraan dalam kinerja legislasinya. Juga, bagi kepala daerah dalam membangun pendidikan di daerahnya masing-masing.

Lebih dari itu, Dewan Daerah atau Dewan Kota perlu ikut memberikan warna keputusan politik di bidang pendidikan daerah. Kepala Pemerintah daerah/ kota harus diberikan masukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam membangun pendidikan daerah (ibid). Karena bila tidak, maju dan mundurnya pendidikan di era otonomi daerah adalah tergantung dari dan kebijakan politik yang diambil di bidang pendidikan yang dihasilkan Dewan Daerah atau Dewan Kota yang melembaga ke dalam DPRD.

Bahkan dikatakan Eko Budiharjo, berkaitan dengan diimplementasikannya otonomi pendidikan, sudah barang tentu peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan (central of science), ilmu teknologi, dan budaya menjadi lebih penting dan sangat strategis. Dan hal itu dilakukan adalah dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk mempertegas otonomi yang sedang berjalan. Disebabkan kebanyakan pemerintah daerah tingkat satu (propinsi) apalagi tingkat dua (kabupaten dan kotamadya) tidak memiliki sumber daya manusia (sdm) yang cukup handal dan potensial untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara optimal. Kerja sama yang lebih erat antara lembaga pendidikan di daerah dengan pemerintah daerahnya sangat diperlukan.

Lebih lanjut Eko Budiharjo menegaskan, tokoh-tokoh ilmuwan dan pakar dari kampus lebih didayagunakan sebagai braint trust atau think thank untuk pembangunan daerahnya, tidak hanya sekedar sebagai pemerhati, kritikus, atau penggecam kebijakan daerah. Sebaliiknya, lembaga pendidikan yang ada juga harus dapat membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya, dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah (problem solving) yang dihadapi oleh rakyat.

Selain itu, pemerintah daerah pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut. Namun itu pun harus atas dasar persetujuan bersama pemerintah-pemerintah daerah. Atau dengan lain perkataan, keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek; mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi dan sebaik mungkin. Agar semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antarsekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pendeknya, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat sekolah. Maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah. Agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien (Indra Djati Sidi; 2001). Sehingga, Masyarakat Berbasis Sekolah (MBS) yang kerap dibicarakan dapat menemukan konteks dan momentumnya, yang pada gilirannya dapat terwujudkan.

Penulis adalah pemerhati pendidikan & alumni PP. Turus Pandeglang Banten
Kini sedang belajar di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan di STAI Darul Qalam Tangerang
Tinggal di Jl. Kertamukti
Gg. H. Abd. Madjid No. 35 Rt. 001/ 08
Ds. Pisangan Ciputat 15419
Email: khoirul_umamsonhadji@yahoo.com
Telp. 7401962-7430780

Saya Khoirul Umam & Neng Luthfi setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Menimbang Sistem Baru Penerimaan Mahasiswa WA PTN



Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): Reza Indragiri Amriel
Saya Dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tanggal: 27 Juni 2003
Judul Artikel: Menimbang Sistem Baru Penerimaan Mahasiswa WA PTN

Oleh: Reza Indragiri Amriel
Mantan Ketua Delegasi Indonesia
Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia
Alumnus Universitas Gadjah Mada

Ada yang berdesir di hati tatkala membaca berita tentang sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN). Besarnya uang sumbangan - atau apapun istilahnya - yang ditetapkan sebagai salah satu syarat bagi para calon mahasiswa PTN yang tidak melalui jalur ujian masuk PTN (UMPTN), sebenarnya sebangun dengan sistem seleksi mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta (PTS).

Uang sumbangan sejatinya bukan faktor tunggal penentu diterima atau tidaknya seorang lulusan SMA di PTS. Namun, sukar dipungkiri, fokus perhatian para calon mahasiswa, termasuk orang tua mereka, lebih tertuju pada masalah uang ini. Ada kepercayaan bahwa semakin besar uang yang disumbangkan, semakin besar pula peluang diterimanya calon mahasiswa yang bersangkutan.

Kesan signifikansi dana sumbangan semakin kentara, karena - seingat penulis - jumlah uang yang akan diberikan kepada PTS sudah dimasukkan sebagai salah satu butir pertanyaan pada lembar pendaftaran ujian masuk. Seleksi tertulis dan wawancara bagi calon mahasiswa, tak ayal, dipandang sebagai formalitas belaka.

Anggapan semacam itu, keliru maupun tidak, menunjukkan bahwa keberhasilan seorang calon mahasiswa PTS dalam proses seleksi ternyata sangat tergantung pada kesiapan para orang tua dalam 'memperjuangkan' anak mereka. Sepanjang mengikuti seluruh mekanisme yang ada, dan memberikan uang sumbangan yang ''memadai, gerbang PTS terbuka bagi si jebolan SMA. Dalam terminologi psikologi, dinamika ini disebut sebagai atribusi eksternal, yang bermakna bahwa unsur-unsur eksternal menjadi kausa utama bagi masuknya mahasiswa baru ke PTS.

Pada saat yang sama, secara umum, PTN tidak mensyaratkan uang sumbangan kepada para calon mahasiswa. Para peminat tidak perlu menimbang-nimbang besarnya anggaran yang akan dialokasikan guna membuka pintu PTN. Yang penting adalah, pertama, belajar sebaik mungkin selama di SMA, sehingga berpeluang terpilih masuk PTN melalui program penelusuran bakat, minat, dan prestasi akademik. Atau, alternatif kedua, mengikuti seleksi nasional melalui UMPTN.

Bagi orang tua, uang bisa jadi berperan penting untuk kemungkinan kedua di atas. Bukan untuk dana sumbangan, melainkan untuk memberikan kursus tambahan bagi si buah hati agar dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya saat mengerjakan soal-soal UMPTN. Tanpa kursus ekstra, persiapan bersaing di ajang UMPTN terasa kurang afdol.

Ditambah oleh beraneka jaminan yang diberikan oleh lembaga-lembaga bimbingan tes, pada gilirannya terbangun sebuah keyakinan bahwa keikutsertaan dalam program bimbingan UMPTN merupakan jembatan menuju PTN. Tentor-tentor di lembaga kursus, oleh tidak sedikit kalangan, dinilai lebih mumpuni ketimbang guru-guru di SMA dalam menguasai sekaligus mengajarkan keterampilan yang diperlukan siswa sewaktu mengerjakan soal-soal UMPTN.

Periode waktu menjelang UMPTN tidak hanya menegangkan bagi si calon mahasiswa, tetapi juga bagi orang tua, bahkan keluarga besarnya. Kendati demikian, ketika UMPTN berlangsung, tidak ada yang dapat diperbuat oleh orang tua, kecuali memberikan semangat dan berdoa. Kegagalan, secara manusiawi, akan mengecewakan. Sebaliknya, tercantumnya nama si anak di dalam daftar pengumuman mahasiswa baru PTN di surat-surat kabar daerah - biasanya sudah laris terbeli sejak dini hari - akan diikuti dengan sujud syukur dan kenduri.

Begitu dramatisnya kronologi penerimaan mahasiswa baru PTN, sehingga PTN menjadi luar biasa prestisius. Tidak hanya disebabkan seleksinya yang ketat, tetapi termasuk pula karena terjangkaunya biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi segala atribut tridharma perguruan tinggi yang tampak lebih murni di PTN ketimbang non-PTN.

Jelas, adalah si anak sendiri yang pada akhirnya harus berjibaku agar dapat lolos dari lubang jarum. Wajar apabila ia bersuka dan berbangga hati, karena kesuksesan menjadi mahasiswa PTN adalah produk atribusi internal. Hasil perasan otak, kucuran peluh, dentuman jantung, dan bisikan doa si anak 'sendiri'.

Hingga saat ini, lika-liku masuk PTN masih ada. Hanya saja, mulai sekarang, dua mekanisme penerimaan mahasiswa PTN - UMPTN dan rekrutmen atas dasar prestasi belajar di SMA - didampingi oleh sistem baru yang memberikan garis bawah pada pentingnya uang sumbangan dari para lulusan SMA yang ingin masuk PTN.

Pemberlakuan sistem mutakhir ini tentu didahului oleh banyak pemikiran. Yang susah untuk dipikir, setidaknya oleh penulis, adalah bahwa perkembangan ini telah memberikan gambaran bahwa dunia pendidikan tinggi di Tanah Air seolah berlawanan arus dengan kondisi faktual negeri ini.

Ketika kemorat-maritan belum pupus dari berbagai dimensi kehidupan, lingkungan perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi satu-satunya lingkungan yang peka terhadap kondisi nyata tersebut. Dalam prakteknya, menyikapi anjloknya kemampuan masyarakat dalam bersekolah sebagai akibat krisis ekonomi, perguruan tinggi yang steril dari dekadensi moral seyogianya justru membuka pintu lebih lebar bagi setiap warga bangsa untuk memperoleh kesempatan menuntut ilmu.

Dalam konteks ini, penerimaan mahasiswa baru melalui sistem baru memang merupakan manifestasi terbukanya peluang lebih luas bagi siapapun untuk berkuliah. Semua pihak, tak terkecuali yang berasal dari keluarga yang sangat berkemampuan, mempunyai hak untuk mengirimkan anak mereka ke PTN.

Permasalahannya, direnungi lebih lanjut, penetapan syarat berupa dana sumbangan yang sedemikian tinggi adalah tidak paralel dengan keadaan masyarakat luas dewasa ini pada umumnya. Sistem baru ini memberikan keuntungan finansial besar bagi PTN, tapi seberapa jauh sistem ini dapat memperbesar peluang para lulusan SMA agar dapat mengenyam pendidikan di PTN? Lebih lugas lagi, pihak mana sajakah yang kesempatannya untuk masuk PTN semakin besar, akibat pemberlakuan mekanisme baru ini?

Penerimaan mahasiswa melalui UMPTN maupun penelusuran prestasi akademik di SMA, keduanya menandaskan kompetisi akademik. Sedangkan pada sistem rekrutmen yang mulai dipraktekkan oleh banyak PTN, persaingan memasuki lingkungan akademik naifnya didominasi oleh faktor non-akademik. Sehingga, alih-alih memancarkan jiwa empati terhadap keprihatinan yang dialami kelompok masyarakat yang berasal dari golongan ekonomi lemah, format baru dalam penerimaan mahasiswa baru justru lebih memfasilitasi anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi lebih dari sekedar mampu dalam rangka memasuki PTN.

Realita ini hanya menambah deretan distorsi yang telah ada di dunia pendidikan nasional pada waktu-waktu belakangan ini. Seperti banyak diberitakan media massa, kasus ijazah palsu semakin marak. Pelakunya, tak tanggung-tanggung, para pejabat lokal dan nasional. Sudah barang tentu, para pemilik ijazah palsu ini bukan merupakan sosok-sosok berekonomi lemah, mengingat mahalnya harga ijazah palsu yang harus mereka bayar.

Setali tiga uang, munculnya gelar-gelar akademik aspal. Hanya dengan menghadiri beberapa kali tatap muka dan - kadang - menulis 'tesis' maupun 'disertasi', seorang mahasiswa dapat lulus dengan menyandang gelar akademik sesuai selera. Lagi-lagi, hanya mereka yang bersaku tebal yang sanggup membeli gelar prestise semacam itu.

Keinginan publik untuk menggenggam ijazah dan gelar akademik - tanpa harus mengikuti kegiatan perkuliahan sebagaimana mestinya - disambut oleh banyak lembaga-lembaga edukasi partikelir. Mereka, yang sejatinya hanya menyelenggarakan pendidikan setara kursus, mengelabui masyarakat dengan menawarkan gelar D3 (setingkat sarjana muda) serta menganugerahkan ijazah berikut seremoni dan toga di gedung-gedung mewah.

Program 'perkuliahan' jangka pendek serta gelar akademik adalah iming-iming yang gencar dipromosikan oleh institusi-institusi pendidikan - termasuk perguruan tinggi - imajiner tersebut. Jangankan penumbuhkembangan budi pekerti, transfer ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi pun jauh panggang dari api. Tetapi celakanya, kepraktisan seperti inilah yang, kendati mahal, nyatanya kini kian digandrungi. Siapa lagi yang dapat membeli hal-hal superfisial dan artifisial tersebut, jika bukan mereka yang bersumber daya keuangan besar.

Sekali lagi, penulis percaya, ada banyak pertimbangan di balik penyelenggaraan sistem seleksi yang berbasis pada besaran uang sumbangan ini. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan semuanya, dapat diterima nalar. Namun, hemat penulis, perguruan tinggi bukanlah sebuah instansi yang dibangun semata di atas pondasi nalar. Ia dibangun dengan penuh idealisme sebagai sebuah kawah candradimuka bagi calon-calon intelektual. Bagi individu masa depan yang kepeduliannya telah melampaui batas-batas diri sendiri serta menjangkau kehidupan individu-individu lain. Tak lain, manusia yang berhati nurani - tak hanya bernalar - yang mampu menjelma menjadi sosok sedemikian rupa.

Implikasinya, setiap perguruan tinggi sepantasnya juga berdiri dengan nurani sebagai salah satu tiang pancangnya. Penekanan sekaligus pembinaan terhadap nurani seyogianya sudah mulai dilakukan sejak seorang lulusan SMA berencana akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dan, proses selektif yang menempatkan daya juang individu - bukan pihak lain - sebagai kunci keberhasilan, merupakan sebuah sistem yang berfungsi sebagai pelontar bagi siapapun yang ingin bertransformasi dari siswa menjadi mahasiswa. Siswa yang mengemban tanggung jawab besar di balik kata maha yang mereka sandang!

Tidak mutlak bahwa semua mahasiswa PTN yang diterima melalui jalur UMPTN dan prestasi akademik di SMA niscaya akan berkualitas lebih tinggi daripada mahasiswa PTN yang memasuki kampus melalui sistem yang baru ini. Pun, inisiatif PTN mengadakan mekanisme penerimaan mahasiswa baru melalui penekanan pada uang sumbangan dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari adanya kebutuhan akan sumber dana penyelenggaraan pendidikan yang lebih besar.

Terlepas dari kemafhuman akan hal-hal di atas, sistem baru penerimaan mahasiswa PTN dapat ditafsirkan sebagai bentuk perlakuan istimewa yang diterapkan PTN bagi para calon mahasiswa dari keluarga berekonomi mapan. Apabila langkah tersebut dinilai sah-sah saja, maka agar adil kemudahan macam apa yang akan diberikan - apalagi diperluas - kepada mereka yang tidak mampu bersaing di dalam sistem baru ini? Wallaahu a'lam.
r_amriel@yahoo.com

Saya Reza Indragiri Amriel setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Membangun Masa Depan Indonesia Berbasis Moral ( Sebuah Renungan )

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Akhmad Bisri
Saya Guru di SLTP Negeri 6 Cilacap
Tanggal: 30 Mei 2003
Judul Artikel: Membangun Masa Depan Indonesia Berbasis Moral ( Sebuah Renungan )
Topik: Pendidikan dan Moral

I. Permasalahan :

Pendidikan dewasa ini, disadari atau tidak mengalami distorsi yang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi kita telah membuat kurikulum yang menurut pemikiran kita sangat diharapkan memiliki kehandalan dalam peningkatan intelektualitas, namun di sisi lain perilaku anak didik kita pada umumnya mengalami hal yang tidak menggembirakan.

Di hadapan kita seringkali tersaji realitas, banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian dan lain-lain, justru dilakukan oleh mereka yang berstatus sebagai pelajar.

Ada apa dengan pendidikan kita ?

II. Pendekatan Kasus

Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi salah satu pihak maupun bersandandar pada pesimistis kita ( khususnya mereka yang secara langsung berkiprah dalam dunia pendidikan ). Namun saya mencoba merefleksikan hasil perenungan saya selama ini dalam hal melihat sebuah fakta bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita.

Kita melihat pendidikan agama, misalnya, yang diajarkan di sekolah nampaknya belum dapat menyentuh titik sentral dari moral siswa. Sebab, pendidikan agama yang diajarkan kepada mereka sebatas pada nilai-angka, baik berupa hafalan ayat, sejarah dan sebagainya. Selayaknya kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan budi pekerti ( yang kita kenal dengan nilai-nilai agama itu sendiri ).

Contoh lain, tehadap mata pelajaran PPKn, seringkali siswa hanya diajarkan tentang pasal-pasal dalam Tap MPR. Mengapa kita tidak menyentuh mereka dengan apa yang mestinya kita perbuat sebagai warga negara yang baik, bermartabat dan berbudaya ?

Sesungguhnya, kita belum terlambat untuk sesegera mungkin memutar haluan kapal kita, untuk menambal segala macam kekurangan yang ada di dalam sistem pendidikan kita.

III. Kesimpulan dari Tulisan ini

Ada tiga hal pokok, menurut hemat saya yang harus segera diperbaiki, anatara lain :

a. Tinjau kembali pola pengajaran dari semua mata pelajaran yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung terhadap moralitas anak-didik kita,

b. Tinjau kembali metodologi pengajaran kita, dari guru yang hanya bercerita, berceramah menjadi guru yang mengedepankan dialogis ( khususnya di dalam memecahkan permasalahan moralitas anak didik )

c. Tinjau kembali perilaku sebagian guru kita, yang sesungguhnya mereka sebagai agen perubahan ( termasuk contoh moralitasnya ), sehingga anak-didik memiliki kebanggaan ( dalam tanda petik ) terhadap gurunya. Bukankah guru adalah di-gugu dan di-tiru ? - maksudnya dalam perilaku positif.

d. Aktifkan anak-didik kita dalam kegiatan keagamanaan di sekolah, berikan waktu khusus kepada mereka di dalam mengembangkan nilai-nilai moral agama yang dianutnya.

Akhirnya, semoga tulisan singkat ini menjadi bahan renungan kita yang sangat peduli terhadap perkembangan moral generasi penerus bangsa.

Selesai.

Cilacap, 30 Mei 2003
Penulis,
ttd
Akhmad Bisri

Saya Akhmad Bisri setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Belajar dari Orangtua dan "hidden curriculum"

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Ign.Sumarya SJ
Saya Pengamat di Jakarta
Tanggal: 16 Mei 2003
Judul Artikel: Belajar dari Orangtua dan "hidden curriculum"

Orangtua: pendidik pertama dan utama

Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Di dalam keluarga, sebelum anak masuk sekolah, anak-anak memperoleh pendidikan dengan bebas dan cintakasih serta tanpa kurikulum yang ketat. Materi pendidikan apa saja yang kemudian dapat dikembangkan kelak jika anak masuk ke sekolah. Orangtua mengajar anak-anak: berhitung, membaca, ilmu alam dst..serta budi pekerti atau agama atau iman. Sistem pendidikan, sejauh orangtua berhasil mendidik, dengan keteladanan/contoh ataupun refleksi hidup sehari-hari (dalam istilah sekarang CBSA). Dalam hal pendidikan budi pekerti lebih diutamakan pelaksanaan daripada ajaran atau wacana/omongan ("hidden curriculum"?).

Ketika orangtua tidak mampu lagi untuk mendidik anak-anaknya, maka mereka minta bantuan instansi pendidikan atau sekolah. Sekolah adalah pembantu orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dengan segala kemampuan, antara lain dana/uang, orangtua berusaha untuk mengusahakan sekolah yang bermutu.Menarik perhatian saya: orang yang sadar pendidikan tidak segan-segan untuk membayar mahal. Dan memang pendidikan yang bermutu pada hakekatnya mahal , jika orangtua membayar murah pasti ada instansi lain yang membayar, entah pemerintah atau swasta.

Dari pengalaman dan pengamatan pribadi, saya juga dapat mensharingkan: orangtua yang baik sungguh sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Maka jika mereka tidak mempunyai uang/dana untuk membayar uang sekolah, tidak segan-segan mereka mencari pinjaman (paling tidak ini pengalaman penulis serta pengamatan penulis terhadap orangtua yang sadar pendidikan).

Belajar dari orangtua?

Dalam hal apa kita dapat belajar dari para orangtua, pendidik pertama dan utama, yang berhasil mendidik anak-anaknya. Berikut saya sampaikan refleksi kami:

1) kebebasan dan cinta kasih: tanpa kebebasan dan cintakasih, pendidikan akan gagal. Cintakasih tanpa batas alias bebas, sedangkan kebebasan batasnya adalah cintakasih, dimana orang tidak melecehkan atau merendahkan yang lain (Ingat: Pendidikan yang membebaskan dari Paulo Freire). Dengan kata lain semakin banyak aturan yang dikenakan di dalam dunia pendidikan, hemat kami merupakan rambu-rambu yang menunjukkan pendidikan akan gagal. Dalam hal kebebasan dan cintakasih lebih banyak dibutuhkan keteladanan atau kesaksian dari para pendidik/guru. Anak yang tertekan atau suasana pendidikan yang menekan akan membuat frustrasi, dan jika anak atau siapapun berada dibawah tekanan, jelas mereka tidak akan mudah untuk berkembang dan bertumbuh.

2) perhatian terhadap pendidikan = opsi pada anak-anak: Perhatian orangtua terhadap pendidikan dengan jelas dapat dilihat dengan penyediaan dana yang memadai, meskipun dengan mencari hutang. Sayang negara kita mencari hutang yang begitu besar, tetapi tidak terarahkan ke pendidikan, tetapi ke material. Pemerintah lebih menekankan "material investment" dari pada "human investment". Atau dalam istilah "the man behind the gun", lebih memperhatikan "the gun" daripada "the man". Kami himbau agar para petinggi negara atau bangsa ini atau mereka yang berhasil jadi 'orang': sadarlah bahwa pendidikan itu mutlak harus diutamakan. Sediakan dana yang memadai untuk pendidikan, belajarlah dari para orangtua yang berhasil mendidik anak-anaknya: mencari hutang bukan untuk membangun gedung/rumah, tetapi untuk menyekolahkan anak-anaknya.

3) pendidikan budi pekerti/agama sebagai "hidden curriculum": Pendidikan budi pekerti/agama lebih ditekankan dalam pelaksanaan hidup sehari-hari, yang menjadi nyata dalam cintakasih kepada sesama, terutama terhadap mereka yang miskin atau kurang beruntung.

Demikian sekedar sharing pengalaman dan pengamatan pribadi, semoga bermafaat.

Saya Ign.Sumarya SJ setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Quo vadis sistem pendidikan Indonesia

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): nailul umam wim
Saya di sisdiknas
Tanggal: 31 maret 2003
Judul Artikel: Quo vadis sistem pendidikan Indonesia
Topik: RUU sisdiknas
Oleh: Nailul Umam WIM*

Kontroversi Rancangan Undang Undang sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) nampaknya belum akan berakhir. Dalam beberapa bab dan ppasalnya, oleh banyak pihak digugat. Hal ini terutama karena RUU Sisdiknas, di nilai memaksakan kehendak dalam hal ini , pendidikan agama. Bila saat ini seorang siswa belajar di lembaga pendidikan yang di kelola oleh umat lain, yang sering terjadi siswa tersebut tak memperolah pendidikan agamanya, sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi haknya.

Untuk mengatasi hal itulah pemerintah, melalui komite reforemasi Pendidikan, merancang UU Sisdiknas yang baru, dan kontroversial. Hal ini misalnya dalam pasal 13 ayat (1) huruf a) menyebutkan : setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama disemua jenjang dan jenis pendidikan..

Konsekwensinya, lembaga pendidikan islam, bila siswanya ada yang beragama Kristen, Hindu atau Budha harus menyediakan guru agama yang seagama. Begitu juga lembaga pendidikan Katolik bila ada siswanya yang beragama Islam, harus menyediakan guru agama yang seiman pula. Bila di kaji lebih jauh, sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang positif. Sejak dini siswa di perkenalkan kepada nilai nilai pluralisme dan toleransi sesama umat beragama. Terjadinya konflik bernuansakan agama salah satu penyeabnya adalah tidak diperkenalkan nilai pluralisme keagamaan sejak dini. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, dengan keragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Hal ini bisa menjadi potensi, tetapi juga hal yang kontraproduktif jika tak ditangani dengan benar. Usaha usaha kearah tersebut salah satunya melalui penanaman nilai keagamaan yang benar mulai dari lingkup pendidikan dasar hingga tinggi. Dari itu pendidikan agama yang tepat, disampaikan oleh orang yang tepat (guru yang seiman) merupakan conditio sine qua non. Hal ini karena : pertama, pendidikan agama bukanlah masalah penyapaian pesan pesan verbal semata, yang cukup disampaikan pada aspek kognitif, tetapi lebih pada dimensi yang lebih mandasar dan hakiki, yaitu transfer of value, tertanamnya nilai ajaran keimanan agama dalam diri peserta didik. Kedua, adanya kompetensi dan keteladanan bagi pendidik agama bila ia juga pemeluk agama tersebut. Pendidik seiman ini terutama, menurut hemat penulis, di tujukan pada pendidikan dasar dan menengah. Beda halnya kalangan perguruan tinggi, seperti jurusan theologi, yang mempelajari perbandingan agama disampaikan oleh orang yang beda agama tetapi memiliki otoritas di bidangnya.

Kontroversi lainya adalah ideologi kapitalis dan eksklusifisme pendidikan. Dalam pasal 5 ayat 6 di nyatakan: pendidikan diselenggarakan berdasarkan otonomi, akuntabilitas publik dan jaminan mutu. Isu yang di angkat dalam padsal nini memang bagus. Idealnya tiap sekolah menerapkan standard mutu yang ketat seperti penerapan managemen mutu terpadu (total quality management). Semangat kapitalime dan liberalisasi pendidikan juga nampak dalam usaha privatisasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan hukum (pasal 46 ayat 2, masuknya lembaga pendidikan asing di indonesia (pasal 56 ayat 1). Demikain juga mengenai pemukaan kelas jauh (pasal 14 ayat 2 dan 27 ayat 1-3) yang di tujukan bagi kaum elit tetapi patut di pertanyakan kualitasnya. Pengadaan kelas jauh yang marak akhir akhir ini di eberapa perguruan tinggi pernah di hujat oleh masyarakat dan menteri pendidikan Nasional Malik Fajar. Demikian pula nasib lembaga pendidikan yang di kelola pihak swasta yang tak jelas eksistensinya, karena ¥hampir tak ada satu pasal yang mengatur keberadaan dan tanggung jawab negara terhadap sekolah swasta tersebut.

Apakah semua kewajiban lembaga pendidikan swasta di bebankan kepada masyarakat, sedangkan pemndidikan adalah hak warga negara? RUU Sisdiknas yang memuat pengajaran agama oleh guru yang seiman, merupakan hal yang patut kita dukung. Diharapkan dengan penanaman nilai pluralisme dan toleransi sejak dini dapat mengurangi akar konflik yang bernuansa keagamaan. Peserta didik menjadi lebih mampu dalam menghadapi perbedaan pendapat yang timbul dari beda agama. Dan penghormatan ini akan terus dibawanya hingga ia dewasa. Namun dalam hal liberalisasi dan semangat kapitalisme lembaga pendidikan, perlu di cermati lebih jauh konsekwensi logis dan dampak negatif yang akan timbul terutama bagi kalangan tak mampu. Jika memang pendidikan adalah hak warga negara, maka sudah semestinya pemerintah mengusahakan pendidikan murah bagi rakyat, bukan sebaliknya. Bila memang demikian, pertanyaannya adalah sudah siapkah kalangan pendidik di negeri ini untuk menghadapai tuntutan RUU yang --dalam beberapa pasal-- tak realistis ini?

Mahasiswa Tarbiyah dan koordinator HISAPend (Himpunan Studi Agama dan Pendidikan ) Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Alamat kampus : jalan A Yani Tromol Pos 1 Pabelan kartasura Surakarta Jawa Tengah.

Saya nailul umam wim setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .